Gerakan Pemuda Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang

|
bloggerkristinayanti36.blogspot.com
Kegiatan pemuda Indonesia pada masa pendudukan Jepang secara umum terbagi dalam tiga hal, yaitu 
Gerakan organisasi pemuda yang bersifat militer dan semi militer
Organisasi pemuda yang bergerak secara sembunyi-sembunyi atau yang lebih dikenal dengan gerakan bawah tanah, dan
Organisasi pemuda bentukan Jepang yang disiapkan untuk membantu Jepang menghadapi Perang Asia Timur Raya.
Pada 1943, organisasi-organisasi militer dan semimiliter mulai dibentuk, di antaranya Keibodan, Heiho, Seinendan, dan PETA, Giyugun di Sumatera, serta Fujinkai khusus untuk perempuan. Dalam kelompok militer dan semimiliter ini, Jepang memilih para pemuda Indonesia dengan kategori usia antara 14-25 tahun. Selain diberikan pendidikan militer, mereka juga dikenalkan dengan berbagai budaya dan tradisi Jepang. Seinendan yang merupakan sumber kekuatan pertahanan, diharapkan dapat bergerak di semua kegiatan. Mereka diberi latihan kemiliteran dan indoktrinasi budaya serta tradisi Jepang selama 1,5 bulan secara bersama-sama dengan seluruh anggota Seinendan dari seluruh Pulau Jawa. Demikian pula dengan Keibodan yang dibentuk untuk membantu tugas-tugas kepolisian dan secara khusus diberikan latihan cara-cara menjaga keamanan, meliputi wilayah, udara, pantai, dan laut.
Mereka dilatih untuk dapat melakukan penyelidikan terhadap isu-isu yang berkembang dimasyarakat, mencari penjahat, dan mengawasi orang-orang yang tidak dikenal atau yang dicurigai pemerintah. Sama halnya dengan Seinendan, Keibodan juga mendapat latihan dasar-dasar kemiliteran secara umum dan intensif. Selain itu, ada Heiho yang diperuntukkan bagi para pemuda yang telah berhasil menamatkan pelajaran di sekolah menengah. Mereka mempunyai tugas khusus, yaitu menjadi bagian dari kegiatan angkatan perang Jepang yang tersebar di semua wilayah kekuasaan Jepang sebagai pembantu prajurit Jepang. Adapun Pembela Tanah Air (PETA), dibentuk dengan tujuan khusus, yaitu bekal bagi bangsa Indonesia ketika merdeka untuk dapat mempertahankan wilayahnya. Selain memperoleh pendidikan kemiliteran, anggota PETA juga diberi keterampilan memimpin pasukan dan  strategi pertahanan. Tidaklah heran jika tokoh-tokoh utama PETA banyak yang bergabung menjadi Tentara Nasional Indonesia.
Para pemuda yang bersikap nonkooperatif dan tidak menyukai fasisme Jepang, memilih melakukan gerakan bawah tanah. Umumnya gerakan ini dilakukan dan dimotori oleh para pemuda yang tinggal di asrama-asrama mahasiswa. Syahrir dan Amir Syarifuddin merupakan dua orang motor penggerak organisasi bawah tanah ini. Mereka memiliki idealisme yang kuat untuk tercapainya kemerdekaan yang harus direbut dengan tangan bangsa Indonesia sendiri. Sikap menolak kerja sama dengan pemerintah, membuat kelompok ini sering menemui konflik dengan penguasa Jepang.
Adapun organisasi-organisasi bentukan Jepang lainnya adalah Gerakan Tiga A (3A), Djawa Hokokai, PUTERA yang dipimpin oleh tokoh, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur. Mereka dikenal dengan nama 4 Serangkai yang bertugas melakukan mobilisasi umum, seperti pengerahan tenaga romusha dan melakukan persiapan-persiapan penting bagi sebuah negara merdeka (Cuo Sangi In).
Kemerdekaan Indonesia akhirnya dapat diperoleh berkat perjuangan bangsa Indonesia. Sejak saat itu terjadi perubahan dalam tata negara dari negara terjajah menjadi negara yang merdeka.

B. Gerakan Pemuda Setelah Kemerdekaan Indonesia
Setelah pelaksanaan proklamasi kemerdekaan, memang tidak dengan serta merta membawa Indonesia ke dalam situasi yang aman dan tentram. Layaknya sebuah negara yang baru saja menikmati kebebasan dari cengkeraman kolonialisme, masih banyak persoalan pemerintahan, politik, dan ekonomi yang harus diselesaikan. Berbagai peristiwa pengalihan kekuasaan terjadi di hampir semua kota di Jawa dan Sumatera. Hal ini seiring dengan berbagai usaha yang dilakukan untuk memperkuat barisan pemuda. Seruan dan tulisan-tulisan bernada heroic, seperti “Merdeka atau Mati” dan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”, terdengar dan tertulis dimana-mana. Bendera Merah Putih dikibarkan di kantor-kantor penting. Situasi ini akan dengan mudah memicu konflik dengan pihak Jepang.
Para pemuda juga menentang simbol-simbol menunjukkan kesan akan kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia, seperti ketika di Hotel Yamato, Surabaya, dikibarkan bendera Belanda yang berwarna merah, putih, dan biru. Para pemuda kemudian menyerbu hotel tersebut pada 19 September 1945. Beberapa orang dari mereka naik ke tiang bendera untuk menurunkan bendera tiga warna itu, menyobek warna birunya, dan mengibarkannya kembali dengan warna merah dan putih.
Peristiwa yang sangat mengundang resiko ini telah menunjukkan adanya keinginan yang dalam dari bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan meskipun harus berkorban jiwa. Peristiwa insiden bendera ini selalu menjadi kenangan bagi bangsa Indonesia karena semangat patriotis yang ditunjukkan oleh para pemuda yang sangat spontan dan tanpa pamrih.
Pada masa awal kemerdekaan, pemerintahan yang baru terbentuk ini harus menghadapi sejumlah permasalahan yang harus segera diselesaikan, seperti menyusun pemerintahan, membentuk Komite Nasional sebagai pembantu presiden, mengurus tawanan Jepang, menyelesaikan sejumlah konflik yang terjadi antara para pemuda dan rakyat, baik dengan tentara Jepang ataupun dengan tentara Sekutu dan NICA yang sudah mulai berdatangan untuk menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang.
Bentrokan bersenjata terbesar antara para pemuda dan tentara Jepang terjadi di Semarang. Ribuan pemuda gugur dalam pertempuran yang berlangsung selama lima hari. September hingga memasuki awal November 1945, keadaan di Indonesia memang semakin rumit dan genting. Hal ini disebabkan masuknya tentara Sekutu ke kota-kota besar di Jawa. Awalnya, kedatangan tentara Sekutu dalam kesatuan South East Asian Command (SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten, Pasukan disambut biasa saja oleh bangsa Indonesia. Pasukan khusus dari SEAC yang ditugaskan untuk menerima penyerahan kekuasaan dari Jepang adalah Allied Forces Netherlands East Indies. Pasukan khusus tersebut membawa serta orang-orang Belanda dalam kesatuan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Tujuan kedatangannya adalah untuk menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Rakyat Indonesia dengan cepat memberikan reaksi melalui pertempuran yang tercatat dalam sejarah, antara Oktober hingga Desember 1945 terjadi pertempuran di Medan, Palembang, Surabaya, dan Bandung. Pertempuran terbesar terjadi di Surabaya pada 10 November 1945. Ribuan nyawa melayang demi mempertahankan kemerdekaan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, setiap 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Di Bandung, perjuangan rakyatnya kemudian dikenang sebagai peristiwa Bandung Lautan Api. Peran pemuda dalam periode mempertahankan kemerdekaan ini sangatlah besar. Mereka berjuang bersama dan mengangkat senjata demi kehormatan bangsa Indonesia.
C. Gerakan Pemuda dan Mahasiswa yang Memengaruhi Perubahan Tata Negara di Indonesia
Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)
Tri Tuntutan Rakyat (atau biasa di singkat Tritura) adalah tiga tuntutan kepada pemerintah yang diserukan para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Selanjutnya diikuti oleh kesatuan-kesatuan aksi yang lainnya seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), serta didukung penuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Latar Belakang
Orde baru yang telah berlangsung selama 32 tahun oleh Presiden Soeharto mengalami perkembangan dan penurunan dalam kinerja pemerintah terutama perekonomian. Di samping itu sistem kemiliteran (ABRI) memiliki peran penting dalam Orde Baru dalam menopang kekuasaan otoriter Orde Baru. Namun yang menjadi krisis dan keretakan sistem Orde Baru ialah krisis ekonomi dan moneter serta kegagalan pemerintah dalam merespon dan mengatasi krisis tersebut sehingga membuat legitimasi pemerintah Soeharto Jatuh.
Ketika gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI semakin keras, pemerintah tidak segera mengambil tindakan. Keadaan negara Indonesia sudah sangat parah, baik dari segi ekonomi maupun politik. Harga barang naik sangat tinggi terutama bahan bakar minyak (BBM). Oleh karenanya, pada tanggal 12 Januari 1966, KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura. Isi Tritura adalah:
Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya
Perombakan kabinet Dwikora
Turunkan harga sembako
Tuntutan pertama dan kedua sebelumnya sudah pernah di serukan oleh KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September). Sedangkan tuntutan ketiga baru diserukan saat itu. Tuntutan ketiga sangat menyentuh kepentingan orang banyak.
Pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden Soekarno mengumumkan reshuffle kabinet. Dalam kabinet itu duduk para simpatisan PKI. Kenyataan ini menyulut kembali mahasiswa meningkatkan aksi demonstrasinya. Tanggal 24 Februari 1966 mahasiswa memboikot pelantikan menteri-menteri baru. Dalam insiden yang terjadi dengan Resimen Tjakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden Soekarno, seorang mahasiswa Arif Rahman Hakim meninggal. Pada tanggal 25 Februari 1966 KAMI dibubarkan, namun hal itu tidak mengurangi gerakan-gerakan mahasiswa untuk melanjutkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Rentetan demonstrasi yang terjadi menyuarakan Tritura akhirnya di ikuti keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno yang memerintahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.


No comments:

Featured Post

Customer Relationship Management

  Exercise Questions How do you define CRM? How are CRM activi...

Popular Post

(C) Copyright 2018, By Kristina Yanti